Prosespenghimpunan Hadis dalam waktu lama . Penghimpunan Hadis secara resmi dan massal terjadi atas perinth Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( w. 101H/720 M). Hadis itu sendiri yang mayoritas hanya diingat dan dihapal umat Islam awal dari generasi ke generasi sampai pada masa kodifikasi secara sempurna yakni pada abad ke 3 H. Pada masa inilah Hinggadatang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn AbdulAziz. Dengan perintah beliau kodifikasi hadis telah resmi dilakukan. Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah umar bin abdul aziz adalah muhammad bin Muslim, Ibnu Syihab az Zuhri, slah seorang ulama ahli hijaz dan syam. SetelahNabi wafat pada masa Umar Bin khatab menjadi kholifa ke-2 juga merencanakan menghimpun Hadist-Hadist Rasul SAW dalam satu kitab, namun tidak diketahui mengapa niat itu batal dilaksanakan. Dikala kendali Khalafah dipegang oleh Umar Ibnu Abdul Aziz yang dinobatkan dalam tahun 99 Hijriah.Seorang khalifah dari dinasti Umayyah terkenal adil Salahkisah keterbukaan Umar adalah saat ia menerima surat dari Hasan al-Bashri, sosok ulama pada masa kekuasaannya. Kepada sang khalifah, Hasan menyampaikan nasihat-nasihat bijak. Berikut adalah potongan isinya sebagaimana dilansir laman Kisah Muslim. “Dunia wahai Amirul Mukminin, demi Allah dunia hanya mimpi, sedangkan akhirat adalah nyata Kodifikasihadis secara resmi terjadi pada penghujung abad ke-1 Hijriah, ketika khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz (w. 101 H) memerintah. Keinginan mengkodifikasikan hadis ini sebenarnya telah timbul ketika ia menjabat sebagai gubernur di Madinah (86- 93 H) pada zaman al-Walid bin Abdul Malik berkuasa. Apasebelum masa Umar ibn Abdul Aziz tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan hadis. Dalam makalah ini dibahas bagaimana peran khalifah Umar ibn Abdul Aziz dala kodifikasi hadis, peran Imam al-Zuhry, dan Kritik Ulama terhadap Imam al-Zuhry. Namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi. Hinggatibalah masa kodifikasi hadits yang dicanangkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun saat itu istilah-istilah dalam hadits sudah dikenal dan diterapkan, namun belum ada yang mengkodifikasikannya menjadi satu kitab atau ilmu khusus. juga diragukan hadis yang banyak mengungkapkan tentang masa depan. Misalnya, tentang ungkapan Perideoberikutnya adalah periode kekuatan, sama halnya dengan periode Muawiyah dan Yazid. Berlangsung antara tahun 86 H sampai 125 H. Yaitu pada masa Khalifah al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, dan Hisyam bin Abdul Malik. C Kodifikasi Hadis Abad II Hijriah Masa ini dikenal dengan masa Tadwin al-hadits. Khalifah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz — seorang Khalifah Bani ‘Umaiyah yang menjabat Khalifah antara tahun 99 sampai tahun 101 Hijrah, mengeluarkan perintah resmi untuk mengumpulkan dan menulis hadis. Lalubaca pembahasan selain dari : Sejarah Kodifikasi Hadis Pada Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang lebih terupdate lengkap dan free. Atau simak artikel gratis terkait dari situs web Pengertian dan Arti Kata di bawah. Demikan dan sekian tentang Sejarah Kodifikasi Hadis Pada Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. UAadQB. PERAN UMAR IBN ABDUL AZIZ DALAM KODIFIKASI HADIS Abstract Hadis merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena hadis menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadis, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. Hadis bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad saw dikenal dengan nama hadis. Hadis tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang menarik adalah kenapa hadis ini baru dihimpun dikodifikasikan secara resmi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz -khalifah Ummayyah kedelapan-? Apa sebelum masa Umar ibn Abdul Aziz tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan hadis. Dalam tulisan singkat ini akan dibahas bagaimana peran khalifah Umar ibn Abdul Aziz dalam kodifikasi hadis. Namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi. Refbacks There are currently no refbacks. Oleh Abdul Ghofur A. Pengertian Kodifikasi Hadits Kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codification yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah kodifikasi hadis adalah penulisan dan pembukuan hadits secara resmi berdasarkan perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi. Jadi tadwin al-hadits kodifikasi hadits dapat dipahami sebagai penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadits Nabi atas perintah resmi dari penguasa Negara khalifah bukan dilakukan atas inisiatif perorangan atau untuk keperluan pribadi. Usaha ini mulai direalisasikan pada masa pemerintahan khalifah ke-8 Bani Umayyah yaitu khalifah Umar bin Abdul Aziz 99-101 H/ 717-720 M, melalui instruksinya kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang berbunyi “Periksalah hadits Nabi Muhammad SAW dan tuliskanlah karena aku khawatir bahwa ilmu hadits akan lenyap dengan meninggalnya ulama dan tolaklah hadits selain dari Nabi Muhammad SAW, hendaklah hadits disebarkan dan diajarkan dalam majelis-majelis sehingga orang-orang yang tidak mengetahui menjadi mengetahuinya, sesungguhnya hadits itu tidak akan rusak sehingga disembunyikan oleh ahlinya.” Atas instruksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadits-hadits Nabi, baik yang ada pada dirinya maupun pada Amrah, murid kepercayaan Siti Aisyah. Di samping itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para pegawainya di seluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya sama dengan isi suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan mewujudkan keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri al-Madani 124 H yang menghimpun hadits dalam sebuah kitab. Khalifah lalu mengirimkan catatan itu ke setiap penjuru wilayahnya. Menurut para ulama, hadits-hadits yang dihimpun oleh Abu Bakar bin Hazm masih kurang lengkap, sedangkan hadits-hadits yang dihimpun oleh Ibnu Syihab al-Zuhri dipandang lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang. Para sarjana hadits, seperti Ajjaj al-Khatib, Mustafa Husni as-Siba’i, Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Nu’man Abd al-Mu’tal, Muhammad al-Zafaf, dan lain-lain, menemukan dokumen yang bersumber dari Imam Malik bin Anas bahwa kodifikasi hadits ini adalah atas prakarsa khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan menugaskan kepada Ibnu Syihab az-Zuhri dan Ibnu Hazm untuk merealisasikannya. Begitu juga Umar bin Abdul Aziz menugaskan kepada ulama-ulama lain di berbagai penjuru untuk ikut serta membantu pelaksanaan kodifikasi hadits Nabi tersebut. B. Latar Belakang Kodifikasi Hadits Munculnya kegiatan untuk menghimpun dan membukukan hadits pada periode ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor di antaranya adalah kekhawatiran akan hilangnya hadis-hadis Nabi disebabkan meninggalnya para sahabat dan tabi’in yang benar-benar ahli di bidangnya sehingga jumlah mereka semakin hari semakin sedikit. Hal ini kemudian memicu para ulama untuk segera membukukan hadits sesuai dengan petunjuk sahabat yang mendengar langsung dari Nabi. Di samping itu pergolakan politik pada masa sahabat setelah terjadinya perang Siffin yang mengakibatkan perpecahan umat Islam kepada beberapa kelompok. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengaruh negatif kepada otentitas hadits-hadits Nabi dengan munculnya hadits-hadits palsu yang sengaja dibuat untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok sekaligus untuk mempertahankan ideologi golongannya demi mempertahankan madzhab mereka. Kebijakan khalifah Umar bin Abdul Aziz dilakukan karena kondisi di lapangan, hadis telah diselewengkan dan telah bercampur aduk dengan ucapan-ucapan israiliyat, hadits difungsikan untuk menguatkan kedudukan kelompok-kelompok tertentu seperti Bani Umayyah, kelompok khawarij, dan kelompok syiah yang saling berebut membuat hadits-hadits untuk menguatkan eksistensi kelompok masing-masing. Adapun menurut Muhammad al-Zafzaf kodifikasi hadits dilatarbelakangi Para ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadits akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadits; Banyak berita yang diada-adakan oleh orang-orang yang suka berbuat bid’ah seperti khawarij, rafidhah, syiah, dan lain-lain yang berupa hadits. C. Sistematika Kodifikasi Hadits Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan hadits priode awal kodifikasi, pada umumnya para ulama dalam membukukannya tidak melalui sistematika penulisan yang baik, dikarenakan usia kodifikasi yang relatif masih muda sehingga mereka belum sempat menyeleksi antara hadits Nabi dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklasifikasi hadits menurut kelompok-kelompoknya. Dengan demikian karya ulama pada periode ini masih bercampur aduk antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama pada masa ini belum dipilah-pilah antara hadits marfu’ mauquf dan maqthu’ serta di antara hadits sahih, hasan, dan dha’if. Namun tidak berarti semua ulama hadits pada masa ini tidak ada yang membukukan hadits dengan lebih sistematis, karena ternyata ada di antara mereka telah mempunyai inisiatif untuk menulis hadits secara tematik, seperti Imam Syafi’i yang mempunyai ide cemerlang mengumpulkan hadits-hadits berhubungan dengan masalah talak ke dalam sebuah kitab. Begitu juga karya Imam Ibnu Hazm yang hanya menghimpun hadits-hadits dari Nabi ke dalam sebuah kitab atas instruksi dari Umar bin Abdul Aziz “Jangan kau terima selain hadits Nabi SAW saja.” Kemudian pembukuan hadits berkembang pesat di mana-mana, seperti di kota Makkah hadits telah dibukukan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu Ishaq, di Madinah oleh Sa’id bin Abi Arubah, Rabi’ bin Shobih, dan Imam Malik, di Basrah oleh Hamad bin Salamah, di Kufah oleh Sufyan Assauri, di Syam oleh Abu Amr al-Auza’i dan begitu seterusnya. ***** Daftar Pustaka Ajjaj Al Khatib. 1981. As- Sunnah Qabla Tadwin. Kairo Dar al-Fikr. Dedi Supriyadi. 2018. Sejarah Peradaban Islam. Bandung Pustaka Setia. Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta Fajar Interpratama Offset. Husain Tuanaya, dkk. 2015. Sejarah Kebudayaan Islam; Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013. Jakarta Kemenag RI. Mudasir. 2005. Ilmu Hadits. Bandung Pustaka Setia. Muhammad al-Zafzaf. 1979. Al-Ta’rif fi al-Qur’an wa al-Hadits. Kuwait Maktabah al-Falah. Subhi as-Salih. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta Pustaka Firdaus. Utang Ranuwijaya. 2001. Ilmu Hadis. Jakarta Gaya Media Pratama. Pada masa ini, hadis-hadis Nabi mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi oleh Umar ibn Abdul Aziz, salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Mulai memerintah di penghujung abad pertama Hijriyah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan, dan penulisan hadis nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabi’in. Hal tersebut dirasakannya begitu mendesak karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam telah meluas, sampai ke daerah-daerah di luar Jazirah Arab. Di samping itu, para sahabat yang hafal dan mencatat hadis Nabi, bahkan menjadi rujukan ahli hadis sebagian besar telah meninggal dunia, karena faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Ini semua merupakan gambaran dari keadaan awal pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, dan tentunya hadis masih belum dibukukan secara resmi. Nawir Yuslem, dalam bukunya Ulum al-Hadis menjelaskan bahwa, ada beberapa faktor yang mendorong Umar ibn Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis di antaranya adalah Pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu kekhawatiran bercampurnya Al-Qur’an dengan hadis, hal tersebut karena Al-Qur’an ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis, karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam. Apabila keadaan ini dibiarkan terus, akan merusak kemurniaan ajaran Islam. Sehingga, upaya untuk menyelamatkan hadis dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat, harus segera dilakukan. Keempat, karena semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari hadis Nabi, selain petunjuk dari Al-Qur’an itu sendiri. Pemrakarsa Pengodifikasian Hadis Secara Resmi dari Pemerintah Umar ibn Abd al-Aziz, yang dikenal secara umum dari kalangan penguasa, merupakan tokoh yang memrakarsai pembukuan hadis Nabi secara resmi. Akan tetapi, menurut Ajjaj al-Khatib berdasarkan sumber yang sah dari Thabaqat ibn Sa’d, kegiatan pembukuan hadis ini telah lebih dahulu diprakarsai oleh Abdul Aziz ibn Marwan ayah dari Umar bin Abdul Aziz sendiri. Ketika itu beliau menjabat sebagai gubernur di Mesir. Riwayat tersebut menceritakan bahwa Abd al-Aziz telah meminta Katsir ibn Murrah al-Hadhrami, seorang tabi’in di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70 veteran perang Badar dari kalangan sahabat, untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pernah diterimanya dari para sahabat selain Abu Hurairah. Selanjutnya, mengirimkannya kepada Abd al-Aziz sendiri. Abd al-Aziz menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sudah dimiliki catatannya, yang didengarnya sendiri secara langsung. Dengan demikian, perintah tersebut adalah pertanda bahwa telah dimulainya pembukuan hadis secara resmi, yang diprakarsai oleh penguasa. Hal tersebut terjadi pada tahun 75 Hijriyah. Pelaksanaan Kodifikasi Hadis atas Perintah Umar Ibn Abd Al-Aziz Meskipun Abd al-Aziz, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ajjaj al- Khatib, telah lebih dahulu memrakarsai pengumpulan hadis. Namun karena kedudukannya hanya sebagai seorang Gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan hadis kepada aparatnya sangat terbatas sekali, sesuai dengan keterbatasan kekuasaan dan wilayahnya. Umar ibn Abd al-Aziz Putra dari Abd al-Aziz sendiri yang memprakarsai pengumpulan hadis secara resmi dan dalam jangkauan yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai khalifah dapat memerintahkan para gubernurnya untuk melaksanakan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian hadis. Abu Bakar Muhammad ibn Amr ibn Hazm Gubernur di Madinah adalah di antara gubernur yang menerima instruksi dari Umar ibn Abd al-Aziz untuk mengumpulkan hadis. Dalam instruksinya tersebut, Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis yang berasal dari koleksi Ibn Hazm sendiri, Amrah binti Abd al- Rahman, seorang faqih dan muridnya Sayyidah Aisyah RA, Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Al-Siddiq, seorang pemuka tabi’in dan salah seorang dari fuqaha yang tujuh. Ibn Hazm melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri, seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama di atas lah yang yang merupakan pelopor dalam kodifikasi hadis, berdasarkan perintah Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Dari kedua tokoh di atas, para ulama hadis lebih cenderung memilih al-Zuhri sebagai kodifikasi pertama dari pada Ibn Hazm, hal ini adalah karena kelebihan al-Zuhri dalam hal berikut Al-Zuhri lebih dikenal sebagai ulama di bidang hadis dibandingkan dengan yang lainnya. 2. Dia berhasil menghimpun seluruh hadis yang ada di Madinah, sedangkan Ibn Hazm tidak demikian. 3. Hasil kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah-daerah sehingga lebih cepat tersebar. Era Pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun sampai pada awal pemerintahan Khalifah al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini, para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurniaan hadis-hadis nabi sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak. Pada abad ke-2 sebelumnya, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pesat sekali dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang di antaranya dalam bidang fiqih dan ilmu kalam. Pada dasarnya, para imam mujtahid tersebut meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Akan tetapi, para pengikut masing-masing Imam, terutama setelah memasuki abad ke-3 Hijriyah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya yang paling benar dan bahkan hal tersebut sampai menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Di antara pengikut mazhab yang sangat fanatik akhirnya menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan lawannya. Menyikapi hal tersebut, ulama tidak tinggal diam, mereka berupaya untuk melestarikan hadis, memelihara kemurnian hadis. Di antaranya dengan cara pertama, perlawanan ke daerah-daerah. Kedua, pengklasifikasian hadis kepada marfu’, mauquf, dan maqthu’. Ketiga, penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada shahih, hasan, dan dhaif. Bentuk penyusunan kitab hadis pada periode ini ada tiga bentuk yaitu pertama, Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadis shahih, sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan ke dalamnya. Kedua, Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadis-hadis sahih juga didapati hadis yang berkualitas dhaif, dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar. Ketiga, Kitab Musnad, di dalam kitab ini hadis-hadis disusun berdasarkan nama perawi pertama, urutan nama perawi pertama ada yang berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan waktu memeluk Islam, dan ada yang menurut urutan lainnya seperti urutan Huruf Hijaiyah. Era Khalifah Al-Muqtadir dan Khalifah Al-Mu’tashim Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al Mu’tashim, meskipun pada periode ini kekuasaan Islam mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada pertengahan abad ke-7 Hijriyah. Namun, kegiatan para ulama hadis dalam rangka memelihara dan mengembangkan hadis tetap berlangsung sebagaimana pada periode- periode sebelumnya, hanya saja hadis-hadis yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak yang dihimpun pada periode-periode sebelumnya. Bentuk penyusunan kitab hadis pada masa ini Pertama, Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadis tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutip matannya ataupun dari kitab- kitab lainnya. Kedua Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau keduanya, atau lainnya. Selanjutnya, penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri. Ketiga, Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. 4 Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada. Editor Yahya FR